Selasa, 26 April 2016

Merumuskan Latar Belakang Masalah



A.      Definisi dan Fungsi Latar Belakang dalam Penelitian
Perumusan masalah harus diawali dan disertai dengan latar belakang masalah. Latar belakang masalah adalah segala informasi yang diperlukan untuk memahami perumusan masalah yang disusun oleh peneliti. Dengan kata lain, latar belakang masalah merupakan informasi yang diperlukan utuk mengerti permasalahan yang ada.[1] Selain itu, latar belakang masalah juga sebenarnya hendak menjawab pertanyaan mengapa masalah tersebut dipilih untuk diteliti atau menjadi pokok persoalan. Menjawab pertanyaan mengapa ini, pada dasarnya menuntut suatu penjelasan yang logis dan historis menegnai keberadaan masalaah tersebut dalam masayarakat tau lingkungan sosial tertentu, yang akan menjadi setting penelitian.[2]
Latar belakang masalah adalah alasan-alasan yang melatar belakangi penelitian suatu masalah ysng diungkapkan dalam latar belakang masalah adalah hal yang berkaitan dengan masalah penelitian yang akan dilakukan. Latar belakang penelitian memiliki fungsi yaitu memberikan alasan mengapa penelitian tersebut dilakukan.[3] Alasan atau latar belakang penelitian yang dituliskan, yaitu mengapa topik itu perlu diteliti, apa arti pentignya bagi perkembangan ilmu dan bagi kehidupan praktek sehari-hari. Masalah penelitian merupakan hasil pemikiran peneliti ketika menentukan masalah penelitian yang dilanjutkan dengan studi pendahuluan.
Selanjutnya oleh Dr. Winarno mengungkapkan bahwa. Dengan adanya studi pendahuluan, peneliti akan mengetahui:
1.    Masalah pokok yang akan diteliti.
2.    Dimana atau kepada siapa informasi dapat diperoleh.
3.    Bagaimana cara memperoleh data atau informasi.
4.    Cara yang tepat untuk menganalisis  data.
5.    Bagaimana harus mengambil kesimpulan serta memanfaatkan hasil.[4]
Latar belakang memuat tiga hal, yaitu deksripsi fenomena yang akan dikaji, urgensi serta kelayakan meneliti fenomena tersebut. Pada prinsipnya, ketiga hal tersebut harus ada dalam latar belakang. Memang, biasanya ketiganya dijelaskan secara urut, mulai dari deskripsi fenomena, urgensi, lalu kelayakan. Namun, sebenarnya tidak harus dengan urutan tersebut, yang penting adalah alur penulisan yang sistematis dan nyaman dibaca.
1.        Fenomena yang akan diteliti
Sebuah penelitian dilakukan dalam rangka menjawab keingintahuan peneliti untuk mengungkapkan suatu gejala atau fenomena yang belum terjelaskan, atau suatu fenomena yang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Latar belakang menjelaskan fenomena tersebut. Dengan kata lain, peneliti harus mampu menjelaskan fenomena yang akan diteliti serta konteks yang melingkupinya, misalnya konteks sosial, budaya, ekonomi atau sejarah. Tentu saja, tidak semua konteks perlu dipaparkan, hanya konteks-konteks yang relevan dengan masalah penelitian saja yang dijelaskan.
2.        Urgensi meneliti fenomena tersebut
Penelitian hanya bisa dilakukan terhadap fenomena yang penting, dalam arti bagi masyarakat luas, tidak hanya penting secara personal bagi peneliti. Dalam bagian ini, peneliti harus mampu mengungkapkan mengapa fenomena tersebut penting untuk dikaji.
3.        Kelayakan meneliti fenomena tersebut
Setelah mengungkap urgensi penelitian, peneliti harus mampu menjelaskan bahwa untuk mengungkap fenomena yang akan dikaji memang membutuhkan langkah-langkah yang runtut, sistematis dan logis. Singkatnya, untuk menjelaskan fenomena tersebut secara meyakinkan harus dilakukan penelitian.[5]
Kelemahan umum yang harus dihindari dalam penulisan latar belakang ini adalah penjelasan yang terlalu melebar dan tidak relevan dan penjelasan yang tidak sistematis atau seringkali berputar-putar dan banyak pengulangan yang tidak perlu.

B.       Perumusan Masalah Yang Baik dan Benar
Menurut Sugiyono (2004:55), masalah diartikan sebagai suatu kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi, sedangkan rumusan masalah merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data. Rumusan masalah juga merupakan hulu dari suatu penelitian, dan merupakan langkah yang penting serta pekerjaan yang sulit dalamsuatu penelitian.[6]
Dari beberapa pengertian masalah dan rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa rumusan masalah itu adalah suatu pertanyaan-pertanyaan pemandu yang akan dijadikan dasar atau landasan bagi seorang peneliti guna mendapatkan ja-waban dari suatu masalah yang telah diangkat sebelumnya dalam suatu penelitian
Perumusan masalah memiliki fungsi sebagai berikut yaitu, fungsi pertama adalah sebagai pendorong suatu kegiatan penelitian menjadi diadakan atau dengan kata lain berfungsi sebagai penyebab kegiatan penelitian itu menjadi ada dan dapat dilakukan. Fungsi kedua, adalah sebagai pedoman, penentu arah atau fokus dari suatu penelitian. Fungsi ketiga dari perumusan masalah, adalah sebagai penentu jenis data macam apa yang perlu dan harus dikumpulkan oleh peneliti, serta jenis data apa yang tidak perlu dan harus disisihkan oleh peneliti. Sedangkan fungsi keempat dari suatu perumusan masalah adalah dengan adanya perumusan masalah penelitian, maka para peneliti menjadi dapat dipermudah di dalam menentukan siapa yang akan menjadi populasi dan sampel penelitian.[7]
Dalam pendekatan kuantitatif hal pertama yang dapat dilakukan adalah merumuskan masalah secara tepat dan jelas. Dalam banyak kasus, merumuskan masalah adalah tahapan yang paling sulit, namun amat penting. Pedoman dalam perumusan maslah dalah mengungkap apa yang ada di balik gejala masalh tersebu dan mengidentifikasikan penyebab utamanya.
Evans, (1997:63) mengungkapkan perumusan masalah adalah konteks dari penelitian dan ada beberapa alasan mengapa penelitian diperlukana, dan petunjuk mengarahkan tujuan penelitian. Dan Evans juga menjelaskan ada beberapa karakteristik perumusan masalah yang baik .
1.      Pada umumnya menunjukkan variabel yang menarik peneliti dan hubungan deskriftif, di mana permasalahn secara sederhana diungkapkan ke dalam suatu pertanyaan yang harus dijawab. Namun demikian arti penting dalam penelitian tetap pada hubungan antar variabel. Perkecualian dalam hal ini adalah metode penelitian deskriptif, di mana permasalahan mungkin merupakan suatu pertanyaan sederhana untuk di jawab. Namun demikian dalam penelitian deskriptif juga  akan lebih berarti apabila memperhatikan pertalian yang ada antara variabel yang diteliti.
2.      Menyusun definisi dari semua variabel yang relevan, baik secara langsung terhadap operasional. Definisi operasinal ini harus jelas dan spesifik sehingga tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran yang berbeda, yang pada akhirnya akan “mengganggu” pelaksanaan penelitian. Arti operasional sendiri adalah penjelasan dalam terminologi operasional atau proses. Kalau peneliti menyebutkan variabel produktivitas, peneliti perlu menjelaskan arti operasional dari “produktivitas” ini. Dalam penelitian yang dilakukan, produktivitas harus mempunyai arti operasional yang jelas sehingga tidak menimbulkan perbedaan pengertian antara peneliti dengan pihak lain yang terkait dengan penlitian tersebut.[8]
Dalam rancangan penelitian masalah yang akan diteliti diletakkan sebagai semacam perspektif historis. Di dalam masalah itu dijelaskan diemnsi-dimensi apa yang akan menjadi fokus perhatian serta yang kelak dibahas secara luas dan sistematis secara mendalam. Persoalannya adalah jeli atau tidak ilmuwan sosial bersangkutan menatapnya.
Sebuah fenomena atau praktek-praktek sosial yang diangkat sebagai masalah penellitian, adalah yang menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi, dilihat dari perspektif ilmu pengetahuan. Terhadap hal itu, permasalahan tersebut harus mengisyaratkan ada sesuatu yang dicari jawabannya, dan jawabannya harus melewati sebuah penelitian.[9]
Di dalam memilih atau menyeleksi masalah yang hendak diteliti, peneliti perlu mempertimbangkan sejumlah pertanyaan berikut:
1.        Adakah fenomena yang hendak diteliti yang mengisyaratkan munculnya nilai temuan yang berarti dan bermanfaat, baik dari segi pengembangan teori maupun kepentingan masyarakat.
2.        Apakah fenomena yang dilihat oleh peneliti, betul-betul sebuah masalah yang riil dan hidup di tengah-tengah msayarakat, artinnya bukan sessuatu yang hanya kesan selintas yang dangkal kemudian dipaksakan menjadi sebuah masalah.
3.        Apakah kemugkinan tersedia referensi teoritis yang dapat digunakan sebagai perspektif untuk memahami dan menjelaskannya.
4.        Apakah sebuah fenomena sosial itu, dapat memberi kepastian tentang waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan dalam satu proses penelitian.
5.        Apakah msalah tersebut tidak bertentangan dengan moral dan etika masyarakat.
6.        Apakah msalah itu betul-betul menarik dan diminati untuk diteliti.
7.        Apakah masalah itu relevan dengan bidang disiplin keilmuwan si peneliti.[10]
Maka jelass bahwa perumusan masalah harus dilakukan dengan banyak pertimbangan, karena peneliti apabila tidak melakuakn hal-hal di atas, bisa saja peneliti membuang-buang waktu dan tidak menggunakan efisiensitas sebagia pelaku penelitian dalam bidang sosial.
Sedangkan Subana dan Sudarajat (2003:65) mengatakan bahwa perumusan masalah juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kualitas penelitian itu sendiri,karena setiap penelitian selalu berangkat dari masalah.


[1] Mudjarad Kuncoro, Metode Kuantitatif, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2007) hal. 3
[2] Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kuantitatif-Kualitatif, (Malang: UIN Malang Press, 2008) hal.189
[3] Tatang Amirin. Menyusun Rencana Penelitian. (Jakarta: Grafindo Persada, 2000) hal. 53
[4] Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) hal 83
[5] Toto Syatori Nasehuddin. 2011. Metodologi Penelitian : Sebuah Pengantar. Cirebon: IAIN SNJ, hal 55-57.
[6] Moh. Nazir, Metodologi Penelitian, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2005), hal. 98
[7] Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta:Granit), hal. 14-15
[8] Mudjarad Kuncoro,... opcit. hal. 3
[9] Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2005), hal. 24
[10] Moh. Kasiram......, opcit, hal. 201-202

Tidak ada komentar:

Posting Komentar